Etika Komunikasi (Politik) dalam Pemilu dan Pemilukada
ETIKA KOMUNIKASI (POLITIK) DALAM PEMILU/PEMILUKADA
Oleh: Apid Junaedi
Abstrak
Komunikasi
global adalah suatu kepastian yang tidak dapat dihindari oleh masyarakat dunia,
dimana semua sudah terhubung dalam satu jaringan sehingga sudah tidak ada jarak
dan batas wilayah. Fenomena ini berlaku dalam semua sendi kehidupan sosial
masyarakat, ekonomi dan politik seperti proses pemilihan umum dan pemilihan
kepala daerah yang sangat dipengaruhi oleh pekembangan global ini.
Pemilihan
Umum dan Pemilihan Kepala Daerah adalah sebuah proses politik yang merupakan
cerminan kedaulatan rakyat, yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat,
tujuannya untuk menhasilkan para pemimpin dan wakil rakyat yang baik sehingga
dapat mewujudakn negara yang berkualitas dalam mewujudkan tujuannya yaitu
kesejahteraan sosial.
Berdasarkan
harapan tersebut, maka proses politik ini perlu ada komunikasi yang efektif
antara para peserta pemilu/pemilukada dengan masyarakat sehingga dapat mewujudkan
demokrasi yang baik.
Selain
efektifitas maka landasannya adalah etika, komunikasi politik dalam
pemilu/pemilukada yang berlandaskan etika adalah komunikasi yang didasari oleh
nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan, sehingga tidak ada lagi proses
saling menjelekan, menyebar fitnah dan berita bohong atau istilah black
campaign yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di Indonesia
Komunikasi
Politik dalam proses pemilihan ini harus berdasarkan nilai Pancasila,
Undang-Undang yang berlaku serta yang utama adalah nilai-nilai agama yang
dianut.
Keyword: Pemilu dan Pemilukada, Etika, Komunikasi,
Politik
BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang
Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah adalah
sebuah proses demokrasi dalam memilih wakil yang duduk di parlemen sebagai
wakil rakyat dan sebagai ajang suksesi kepemimpinan Nasional dan Daerah. Proses
ini dikenal juga dengan sebutan pesta demokrasi yaitu semua warga masyarakat
terlibat dalam menentukan nasib dan masa depan bangsa dan negara selama lima
tahun ke depan.
Proses nya cukup panjang mulai dari pendaftaran
kontestan, sosilasasi, kampanye dan terakhir pemungutan suara. Yang cukup
menyita perhatian publik adalah dalam tahapan kampanye, yaitu dimana semua para
kandidat atau calon baik itu calon legislatif, calon presiden/wakil presiden,
calon kepala daearah menyampaikan segala hal yang berkaitan dengan
pencalonanannya, menjual semua program, bahkan janji-janji manis dihadapan
masyarakat yang terkadang hal-hal yang dijanjikan belum tentu dapat
direalisasikan, sehingga yang ada hanya kebohongan-kebohongan publik yang
tujuannya hanya agar dipilih dalam hari pemungutan suara.
Padahal
terkait dengan cita-cita membentuk bangsa dan negara Indonesia yang lahir dari
proses politik yang sehat, kejujuran dalam berpolitik mutlak menjadi landasan
etisnya (Dwihantoro, 2013), namun sayangnya
kejujuran dalam proses ini masih jauh seperti yang diharapkan. Ditambah
perkembangan teknologi informasi dan Globalisasi memberikan cara baru dalam
politik indonesia, dimana proses kampanye sudah merambah kepada dunia maya,
jadi tidak selalu berhadapan langsung dengan massa sehingga etika politik
memiliki bahasan baru lagi ketika bagaimana dilakukan di ruang media sosial
bukan lagi ruang publik yang nyata.
Fenomena muncul di media sosial saling
menjelek-jelekan, menghina, menjatuhkan, lawan-lawan politik menyebar berita
bohong (hoaks) yang membuat kegaduhan di masyarakat, menurut (Prayogo & Winasis, 2018; Prayogo & Winasis, 2018) bahwa Media massa berperan besar dan menyebar sangat
pesat, sehingga memengaruhi khalayak umum melalui tayangan-tayangannya tentang
fenomena kampanye hitam dalam pemilu dan Kampanye hitam pada umumnya berdampak
negatif pada kontestan pasangan calon (paslon) pemilu pendapat
dengan demikian seolah-olah politik dalam pemilu/pemilukada menghalalkan segara
cara tanpa melihat baik atau buruk bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan
bernegara, semua dilakukan oleh politisi untuk mencapai tujuannya tanpa
mengindahkan etika dan sopan santun serta nilai-nilai kebenaran. Menurut (Budiman, 2014 ) selain melanggar
aturan kampanye, adanya kampanye hitam ini jelas mengurangi kualitas
pelaksanaan pemilu.
Tetapi
nampaknya kondisi ini terus ada dan dengan sengaja terus dilakukan oleh
oknum-oknum masyarakat yang tidak bertanggung jawab. Sebagai contoh pada pemilu
2014 muncul Tabloid obor rakyat yang isinya mendiskreditkan pasangan Calon Presiden
Joko Widodo dan menjelang pemilu 2019 muncul Tabloid Indonesia Barokah yang
menudutkan Calon Presiden Prabowo Subianto.
Untuk
mengatasi hal tersebut upaya-upaya terus dilakukan agar praktek kampanye hitam
dan kampanye negatif yaitu diantaranya; Polisi di Jakarta berupaya menangani black
campaign atau kampanye hitam melalui media sosial dalam pemilihan kepala daerah
(pilkada) serentak tahun 2018, Polda Metro Jaya membentuk tim khusus bernama
Satgas Nusantara. Hasilnya jajaran Cyber Crime Polda Metro Jaya telah menemukan
puluhan akun yang diduga melakukan black champaign dalam menghadapi pilkada
serentak 2018 dan Polri juga menjalin kerja sama dengan Badan Siber dan Sandi
Negara (BSSN) serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk
memberantas kampanye hitam (black campaign) di media sosial (Prayogo &
Winasis, 2018).
Upaya upaya tersebut memang cukup efektif namun
bukan berarti semua kegiatan dengan kampanye hitam dan kampanye negatif hilang
dari kegiatan pesta demokrasi di Indonesia, faktanya sampai sekarang masih saja
marak berita-berita bohong yang menyudutkan para peserta pemilu 2019.
Sehingga dalam hal ini dikembalikan kepada hati
nurani setiap individu, dengan demikian nilai-nilai dan etika dalam komunikasi
politik tetap harus menjadi landasan agar kehidupan berpolitik dalam setiap
pemilu dan pemilukada bisa berjalan tanpa fitnah, tanpa caci maki sehingga
menghasilkan tatanan pemerintahan yang baik dan menghasilkan pemimpin-pemimpin
yang amanah.
b.
Tujuan penulisan
Tujuan
penulisan ini adalah untuk membahas etika komunikasi dalam politik pada pemilu
dan pemilukada yang bisa dijadikan bahan renungan dan pemikiran agar komunikasi
yang dilakukan dapat lebih baik dan santun guna mewujudkan Pemilu yang jujur
adil, langsung umum bebas dan rahasia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a.
Komunikasi
Komunikasi didefinisikan oleh (Griffin & Moorhead, 2014) adalah proses dimana
dua pihak bertukar informasi dan berbagi makna, dan menurut pendapat (Schermerhorn, Hunt, Osborn, & Uhl-Bien, 2010) sebagai proses
pengiriman dan penerimaan pesan dengan makna terlampir, dengan element kunci
adalah:
1)
Pengirim, adalah seseorang atau grup mencoba berkomunikasi
dengan orang lain.
2)
Penerima, adalah perorangan atau kelompok individu
kepada siapa pesan diarahkan.
3)
Saluran
komunikasi, adalah jalur pesan yang akan dikomunikasikan.
4)
Isi pesan, yaitu
sumber pesan yang akan disampaikan.
5)
Umpan Balik,
menggambarkan sikap dan merespon dari penerima ke pengirim.
Pendapat (Gibson, Ivancevich, Donelly Jr, & Konopaske, 2012) komunikasi adalah mengirimkan
informasi dan pemahaman, menggunakan simbol verbal atau nonverbal. Elemennya yaitu
komunikator, pesan, medium dan penerima dan feedback atau umpan balik, ini mewakili
komunikasi dua arah, beranjak dari pengirim ke penerima dan kembali lagi,
berbeda dibandingkan dengan komunikasi satu arah, yang mengalir dari pengirim
ke penerima saja, komunikasi dua arah lebih akurat dan efektif. Strategi membangun
efektifitas komunikasi menurut (Umam, 2018)
adalah nya adalah dengan:
1.
Ketahui mitra
bicara
2.
Difahamai oleh
audience
3.
Ketahui tujuan
4.
Perhatikan
konteks
5.
Pelajari kultur
6.
Pahami bahasa
Dalam dunia yang sudah meng-global dimana perkembangan
teknologi iinformasi berkembang pesat dan akan terus maju dengan cepat. World
wide web, intranet pribadi, jaringan pribadi virtual (VPN), teknologi
konferensi berbasis web,ponsel, dan perangkat komunikasi seluler multitaturatur
(mis., iPhone) tidak ada atau tidak umum digunakan 15 tahun yang lalu. Saat
ini, teknologi ini dan bentuk komunikasi baru yang mendukung ada di sekitar
kita (Hitt, Miller, & Colella, 2011). Komunikasi antar
personal sudah mengalami pergeseran yaitu tidak lagi harus bertatap muka tetapi
mulai dengan banyak dengan komunikasi
digital, bahkan Jon Katz dalam (Nasution, 2017) pernah bernubuat kedepan tentang munculnya ‘digital nation’ (bangsa
digital) dimana budaya online akan menawarkan sarana-sarana bagi
individu untuk punya suara asli dalam keputusan-keputusan yang mempengaruhi
kehidupan mereka, dan hari ini terbukti bahwa dunia digital sudah menjadi
bagian dari hidup kita saat ini.
Kondisi saat ini apabila dihubungkan dengan teori
pembagian umur (Tapscott, 2008)dimana ada :
1.
Generasi Pre Baby Boom (lahir pada 1945 dan sebelumnya),
2.
Generasi The Baby Boom (lahir antara 1946 – 1964),
3.
Generasi The Baby Bust (lahir antara 1965 – 1976) - Generasi
X,
4.
Generasi The Echo of the Baby Boom (lahir antara 1977 – 1997) - Generasi Y
5.
Generasi Net (lahir antara 1998 hingga 2009) -
Generasi Z, dan
6.
Generation Alpha (lahir pada 2010) – Generasi A
Dan generasi Z adalah golongan
yang dilahirkan tahun 1998 hingga 2009 adalah generasi teknologi. Mereka telah
mulai melayari internet dan web seiring dengan usia mereka sejak mereka masih
belum pandai berbicara. Generasi Z telah dibimbing dan dikenalkan oleh
orangtuanya menggunakan teknologi sejak dini. Dengan demikian komunikasi yang
dilakukan oleh mereka sudah dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi
terkini dan terbaru yang serba digital.
b.
Etika
Etika dalam pandangan (Griffin & Moorhead, 2014) adalah keyakinan
seseorang tentang apa yang benar atau salah dalam situasi tertentu, kemudian
oleh (Robbins & Coulter, 2016), diungkapkan faktor
yang menentukan seseorang memiliki perilaku etis dan tidak etis adalah tingkat
perkembangan moral, karakteritik individual, variabel struktural dan budaya
organisasi.
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang
berarti kebiasaan atau watak atau dalam bahasa perancis etiquette yang juga
berarti berperilaku baik sehingga etika dikatakan sebagai pola perilaku atau
kebiasaan yang baik dan dapat diterima oleh lingkungan pergaulan seseorang atau
suatu organisasi tertentu. Dengan melihat situasi dan cara pandangnya,
seseorang dapat menilai apakah etika yang digunakan atau diterapkan itu
bersifat baik atau buruk (Umam, 2018)
c.
Etika Komunikasi
dan Komunikasi Politik
Dari pengertian
pengertian etika dan komunikasi diatas , maka dapat disatukan pengertian etika
komunikasi adalah tentang pandangan baik atau buruk dalam upaya atau
proses menyampaikan informasi dari pemberi ke penerima dengan saluran/media
tertentu secara dua arah. Hal ini juga terkait dengan nilai-nilai yang
dipercaya oleh kedua belah pihak tentang isi atau konten dari informasi yang
disampaikan/diterima. Etika komunikasi mencoba untuk mengkolaborasi standar
etis yang digunakan oleh komunikator dan komunikan.
Berkaitan dengan
Pemilu/Pemilukada yang merupakan proses politik maka informasi yang disampaikan
dalam komunikasi tersebut adalah pesan-pesan yang berkaitan dengan politik.
Mengutif pendapat Setiawan (1990) dalam tulisan (Susanto, 2013) menyebutkan komunikasi politik adalah proses
penyampaian pendapat, sikap dan tingkah laku orang – orang, lembaga – lembaga
atau kekuatan – kekuatan politik dalam rangka mempengaruhi pengambilan
keputusan politik, sedangkan yang dimaksud dengan politik tidak lain adalah
kehidupan bernegara”.
Seiring dengan kemajuan
teknologi informasi komunikasi dalam
menyampaikan pesan-pesan politik tersebut terutama dalam kampanye, tidak dapat
dipungkiri bahwa salah
satu aspek penting dalam aktivitas komunikasi politik adalah media massa (Tabroni, 2012). Dan media sosial
yang memiliki kelebihan yang tidak mungkin dilakukan oleh orang per orang.
Keluasan jangkauan dan kedalaman pengaruhnya menjadi buruan para komunikator
politik.
BAB III
PEMBAHASAN
a.
Proses
Komunikasi dalam Pemilu/Pemilukada kaitannya dengan teori Komunikasi Organisasi
Proses pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah
merupakan proses politik yang melibatkan banyak pihak, maka komunikasi politik
menjadi salahsatu kunci keberhasilannya, terutama komunikasi politik sebagai
strategi untuk memanangkan kontestasi tersebut. Komunikasi yang efektif dalam
sangat menentukan hasilnya dalam pemenangan pemilihan umum/pemilukada, sehingga
para pesertanya berlomba-lomba melakukan komunikasi dengan sebaik-baiknya agar
pesan-pesan politik dapat mempengaruhi pemilih untuk selanjutnya menerima dan
memutuskan pilihan kepada yang bersangkutan.
Proses ini tentunya tidak mudah dan cepat namun
bukan hal yang sulit, memang ada
tahapan-tahapan yang perlu dilaksanakan agar pesan yang akan disampaikan
menjadi pertimbangan menjatuhkan pilihan politik, dalam teori komunikasi
organisasi proses komunikasi tergantung elemen kuncinya dan faktor yang
mempengaruhinya, seperti pendapat Komunikasi
adalah proses sosial di mana dua atau lebih pihak bertukar informasi dan
berbagi makna. Prosesnya bersifat sosial karena melibatkan dua orang atau
lebih. Ini adalah sebuah proses dua arah dan berlangsung seiring waktu atau
tidak secara instan. Proses dan bagian-bagiannya adalah sebagai berikut:
a.
Sumber (source) Sumbernya
adalah individu, kelompok, atau organisasi yang tertarik mengkomunikasikan
sesuatu ke pihak lain. Dalam komunikasi kelompok atau organisasi, seseorang
dapat mengirim pesan atas nama organisasi. Sumber bertanggung jawab untuk
mempersiapkan pesan, menyandikannya, dan memasukkannya ke dalam media
transmisi. Dalam beberapa kasus, penerima memilih sumber informasi, seperti
ketika pengambil keputusan mencari informasi dari individu yang tepercaya dan
berpengetahuan. Maka dalam hal ini, para kontestan pemilu/pemilukada harus
mempersiapkan kapasitas dirinya atau
memilih orang-orang yang berkualitas untuk menyiapkan program-program yang
dijanjikan dapat diterima da dipahami dengan baik oleh calon pemilih, juga
harus pintar dalam memilih media-media yang efektif untuk menyampaikan pesan
tersebut.
b.
Pengkodean
(encoding) Pengkodean adalah proses di mana pesan diterjemahkan
dari suatu ide atau pemikiran ke dalam simbol yang dapat ditransmisikan. Simbol
dapat berupa kata, angka, gambar, suara, atau gerakan dan gerakan fisik. Dalam
contoh sederhana, program-program yang ditawarkan diterjemahkan dalam bahasa
yang sederhana dan bersifat mengajak untuk memilih atau dapat berupa simbol
organisasi atau kepartaian yang sudah terkenal sebelumnya.
c.
Transmisi adalah proses melalui mana
simbol yang membawa pesan dikirim ke penerima, media adalah saluran, atau jalur, dari transmisi,
contoh menghubungi calon pemilih atau menyapa langsung selain melalui media
sosial adalah pendekatan yang lebih pribadi yang mungkin mendapat respons yang
berbeda.
d.
Pemaknaan (Decoding) adalah proses dimana penerima
pesan mengartikan maknanya, dimana penerim menerjemahkan pengetahuan dan pengalaman untuk menafsirkan
simbol-simbol pesan, penerima dapat
mengartikan simbol tersebut berbeda-beda , sehinga dalam hal politik perlu
memberi pemahaman yang sama kepada penerima agar maksud dan tujuan komunikasi
politik mengalami kesamaan.
e.
Penerima pesan (receiver) dapat berupa individu, grup,
organisasi, atau individu bertindak sebagai wakil dari suatu kelompok. Penerima
memutuskan untuk menjatuhkan pilihan sangat tergantung pada hal-hal sebelumnya
terlepas dari kemampuan sipenerima sendiri, hanya saja perlu dipahami bahwa
penerima akan merespon apabila memang sesuai dengan harapannya dalam memilih
kandidat pada pemilu/pemilukada
f.
Umpan balik (feedback)adalah respons penerima terhadap
pesan. Dalam hal ini maka apabila
pemilih dengan sukarela menjatuhkan pilihannya maka itu respon yang sangat baik, begitupun. Dalam komunikasi politik menurut, fakta
paling realistis untuk dipakai sebagai ukuran keberhasilan penyampaian pesan,
adalah meningkatnya jumlah khalayak yang menyepakati apa isi pesan. Lebih tegas
lagi adalah bersedia menjadi pengikut dari komunikator politik. Dalam
kontestasi politik, harapannya adalah bersedia untuk memberikan suaranya dalam
pemilihan umum
Agar tujuan dari komunikasi berjalan baik untuk kepentingan negara yang
lebih besar maka semua pihak harus bertanggung jawab, karena merupakan
bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung
jawab harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Pola pengorganisasian pesan yang baik
berpijak kepada pengertian komunikasi yaitu proses penyampaian pesan dari
komunikator kepada komunikan dengan tujuan membangun pemahaman makna bersama
sehingga harus terbuka dan sesuai dengan kebutuhan rakyat secara faktual dalam
menuju negara yang sejahtera, adil dan makmur.
Upaya mempengaruhi
partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum, bukan pekerjaan mudah, mengingat
respon khalayak berbeda – beda tergantung dari karakter yang melekat.
Pengaturan pesan dalam komunikasi politik yang menyentuh kebutuhan masyarakat
secara mendasar akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan
politik, khususnya pemilu dan membangun kredibilitas komunikator politik dengan
partai politiknya secara positif
Setidaknya ada enam perspektif etika komunikasi yang
positif , berikut menurut (Falimu, 2017), yaitu.
1)
Perspektif politik. Dalam perspektif
ini, etika untuk mengembangkan kebiasaan ilmiah dalam praktek berkomunikasi,
menumbuhkan bersikap adil dengan memilih atas dasar kebebasan, pengutamaan
motivasi, dan menanamkan penghargaan atas perbedaan.
2)
Perspektif sifat manusia. Yang paling
mendasar adalah kemampuan berpikir dan kemampuan menggunakan simbol. Ini
berarti bahwa tindakan manusia yang benar-benar manusiawi adalah berasal dari
rasionalitas yang sadar atas apa yang dilakukan dan dengan bebas untuk memilih
melakukannya.
3)
Perspektif dialogis. Komunikasi adalah
proses transaksi dialogal dua arah. Sikap dialogal adalah sikap setiap
partisipan komunikasi yang ditandai oleh kualitas keutamaan, seperti
keterbukaan, kejujuran, kerukunan intensitas, dan lain-lainnya.
4)
Perspektif situasional. Faktor
situasional adalah relevansi bagi setiap penilaian moral. Ini berarti bahwa
etika memperhatikan peran dan fungsi komunikator, standar khalayak, derajat
kesadaran, tingkat urgensi pelaksanaan komunikator, tujuan dan nilai khalayak,
standar khalayak untuk komunikasi etis.
5)
Perspektif utilitarian. Standar
utilitarian untuk mengevaluasi cara dan tujuan komunikasi dapat dilihat dari
adanya kegunaan, kesenanagan, dan kegembiraan.
6)
Perspektif legal. Perilaku komunikasi
yang legal, sangat disesuaikan dengan peraturan yang berlaku dan dianggap
sebagai perilaku yang etis.
Tentu saja kesemuanya itu apabila
dilaksanakan, akan sangat menentukan hasilnya, artinya bahwa apabila masukannya
(input) serta prosesnya baik maka keluaran (output) pun akan baik dan berdampak
pada hasil dan implikasinya..
b.
Etika dalam Komunikasi Pemilu/Pemilukada
Secara idealis maka proses yang dilakukan dalam komunikasi politik tersebut
diatas harus menerapkan etika atau berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan
kejujuran karena persoalannya masih terjadi pesan-pesan politik ini disampaikan
dengan cara-cara yang tidak baik, seperti berbohong, menjelakan orang lain,
memfitnah atau mendiskreditkan orang/pihak lain yang menjadi lawan atau
istilahnya “black campaign”, yang istilah ini untuk sebuah kampanye yang
menjelek-jelekan lawan tanpa fakta yang benar. Selain kampanye
hitam ada juga kampanye negatif (negatif caimpaign) yang menyerang lawan
politik berdasarkan kinerjanya yang dianggap kurang bagus.
Sedangkan menurut (Tabroni, 2012) Tanpa dibarengi dengan etika dalam proses
komunikasi politik dalam perkembangan demokrasi saat ini, akan cenderung
destruktif, tidak mendidik. Padahal, jika dalam demokrasi membutuhkan
partisipasi masyarakat, maka opini publik yang dilakukan para pihak yang
berkepentingan dengan politik, sewajarnya dilakukan dengan cara-cara yang baik,
beretika, bermoral dan mengedepankan kepentingan
umum.
Secara teori berdasarkan pendapat (Robbins & Coulter, 2016) bahwa yang membentuk
seseorang memiliki perilaku etis
dan tidak etis adalah; tingkat perkembangan moral, karakteritik individual,
variabel struktural dan budaya organisasi. Bahwa apabila dikatagorikan, pertama
perkembangan moral dan karakteritik individu adalah dari dalam manusia itu
sendiri apakah memiliki hati nurani yang bersih, jujur dan menjunjung
nilai-nilai kebenaran dan keadilan atau sebaliknya sehingga para komunikator
itu secara individu bergantung pada diri sendiri dalam menyampaikan pesan-pesan
politik apakah memegang nilai-nilai tersebut, kedua dari lingkungan luar yaitu struktur dan budaya yang
berkembang di orgnisasi tersebut, yang berarti bahwa organisasi itu (partai
politik atau tim pemenangan calon) menerapkan nilai-nilai kebenaran atau memang
menganut prinsip menghalalkan segala cara? Hal-hal itu akhirnya sangat
mempengaruhi perilaku komunikasi dalam berpolitik atau berkampanye selama
proses pemilu.
Politik yang kotor dan kurang beretika dalam
berkomunikasi sering kali berhasil menjatuhkan kredibilitas dan elektabilitas
lawan, kampanye seperti ini tidak dikategorikan sebagai komunikasi politik yang
efektif (Budiman, 2014 ). Apabila berujuk pada konsep komunikasi
yang efektif yaitu setidaknya ada lima aspek
dalam membangun komunikasi yang efektif menurut (Umam, 2018),
yaitu:
1.
Kejelasan,
bahasa dan informasi yang disampaikan harus jelas, artinya bahwa jelas
kejadiannya.
Meskipun faktanya
bahwa berita yang ditampilkan sering tidak jelas dan bukan sesuai kejadiannya
2.
Ketepatan, alias
tepat dan benar,
Kenyataan
kampanye hitam ini dengan fakta yang
sebenarnya terjadi tidak akurat
3.
Konteks, artinya
harus sesuai dengan keadaan dan lingkungan komunikasi itu terjadi,
Sementara pesan
kampanye negatif atau kampanye hitam tidak sesuai konteks berita.
4.
Alur, yaitu
keruntunan alur bahasa dan informasi,
Banyak berita
bohong alur ceritanya tidak runut atau ditampilkan sebagian-sebagian bukan
seutuhnya sehingga penerima pesan memahaminya tidak lengkap dan mengakibatkan
salah persepsi.
5.
Budaya, aspek
ini tidak hanya menyangkut bahasa dan informasi, tetapi juga terkait dengan
tata krama dan etika.
Banyak terjadi
kampanye hitam/negatif tidak mengindahkan nilai-nilai kebenaran kemanusiaan dan
jauh dari kesan saling menghormati
Cara-cara ini tidak sesuai dengan prinsip dasar
negara kita, yaitu Pancasila, dan oleh (Prayogo & Winasis, 2018) memandang sebagai cara yang paling kotor untuk
berkampanye, dengan mengkategorikan menjadi tiga bentuk iklan kampanye dalam
media massa dan media sosial, yaitu: adil, palsu, dan menipu. Iklan yang adil adalah mereka yang
mewakili kejadian faktual dengan maksud mempermalukan lawan dengan menonjolkan
atribut negatif dari karakter lawan . Iklan tersebut umumnya berisi kata-kata,
frasa, atau gambar abrasif, merendahkan, dan mudah dilupakan . Iklan palsu,
tidak seperti iklan yang adil , mereka berisi pernyataan yang tidak benar
dibuat dengan niat jahat yang sebenarnya. iklan kampanye menipu, iklan ini
cenderung menyesatkan dan mendistorsi kebenaran tentang calon lawan.
Meskpun
tidak sepenuhnya berhasil mempengaruhi calon pemilih dalam pemilu/pemilukada,
praktek-praktek kampanye ini tentu saja membuat kegaduhan yang membuat
masyarakat kebingungan antara fakta dan keohongan. Bahkan bagi para
pemilih-pemilih pemula bisa menyebabkan kebingungan tersendiri, pemilih-pemilih
pemula yang dikatakan generasi milenial atau pada tahun 2019 ini adalah banyak dari kalangan
Generasi Z bisa berpengaruh besar terhadap proses menjatuhkan pilihan, berikut
yang terjadi hasil studi kasus pada
pemilu 2014(Kesuma, 2014) kesimpulnnya bahwa :
1.
Mimimnya pengetahuan pemilih pemula
dimanfatkan oleh pihak media
2.
Kesimpang siuran informasi tersebut
membuat kebingungan dan ketidakpastian informasi semakin tinggi
3.
Ketidakpastian ini menyebabkan para
pemilih pemula memilih informasi yang berasal dari yang paling besar
pengaruhnya
4.
Informasi yang di dapat kadang tidak
sesuai dengan hati nurani
5.
Sehingga Pemilu tidak berjalan dengan
jujur dan adil,
Kondisi ini bisa
mengakibatkan sikap apriori dan Golput dikalangan pemilih pemula.
Dengan demikian bahwa perlu ada upaya mengedepankan
etika dalam komunikasi dalam Pemilu dan Pemilukada agar prinsip-prinsipnya
(JURDIL LUBER) bisa terpenuhi terhadap semua unsur terlepas itu adalah pemilih
pemula maupun pemilih yang sudah berkali-kali ikut dalam pemilu/pemilukada,
menurut (Susanto, 2013) dalam studinya menyimpulkan bahwa komunikator politik seyogianya mempunyai
kemampuan berkomunikasi di depan publik, menyampaikan pesan secara jujur,
memahami media komunikasi yang dimanfaatkan ketika bicara dengan khalayak,
mengetahui khalayak yang menjadi sasasaran dalam komunikasi publik demi untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam rangka mempengaruhi khalayak
supaya partisipasi dalam pemilihan umum, para komunikator politik harus
menyampaikan pesan yang menyentuh kebutuhan masyarakat dalam pencapaian
keadilan dan kesejahteraan yang benar – benar dirasakan manfaatnya. Para
komunikator politik, aktivis politik maupun anggota legislatif harus memiliki
keberpihakan kepada rakyat untuk memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat
tanpa diferensi nilai, sikap dan kepercayaan dalam kehidupan bernegara.
Ada lima etika kampanye
yang harus diperhatikan menurut (Junaidi, 2013) agar proses demokrasi di negri ini tidak kacau
dan berjalan sesuai dengan semestinya. Yaitu: Pertama, Hindari membuka aib
calon lain. Berkampanye bukanlah ajang untuk membuka aib (ghibah), berprasangka
buruk, menggunjing calon yang lain. Menceritakan aib calon yang lain terlebih
sama-sama muslim itu tidak diperbolehkan dan bukan tindakan yang arif
(bijaksana). Perilaku kampanye yang seperti ini tentu saja akan memancing
keributan yang pada akhirnya bisa terjadi tawuran. Di samping itu juga,
perilaku ini dilarang oleh Tuhan yang Maha Esa.
Kedua, Hindari
Kemubaziran/Pemborosan. Kampanye bertujuan untuk meraih simpatik rakyat. Jadi,
wujudkanlah kampanye yang lebih bersentuhan langsung dengan rakyat. Semaksimal
mungkin harus dihindari kampanye yang bersifat mubazir, hanya lebih bersifat
glamour dan hura-hura. Kalaupun dilaksanakan kampanye secara terbuka dengan
menghadirkan massa yang besar maka patuhilah peraturan-peraturan yang telah
ditetapkan. Didik dan ajaklah massa untuk berlaku arif dan bijaksana agar tidak
berlaku anarkis dalam menyongsong PEMILU dan siap menerima kekalahan. Ketiga,
Hindari paksaan dan intimidasi. Pada hakekatnya kampanye bertujuan untuk
mendapatkan dukungan dari masyarakat. Oleh sebab itu ajaklah masyarakat untuk
menjatuhkkan pilihan berdasarkan hati nuraninya masing-masing. Bukan karena
paksaan (intervensi), bukan karena janji uang atau iming-iming lainnya.
Percayalah, masyarakat hari ini sudah mengerti dan pandai menilai mana pemimpinnya
yang layak untuk dipilih. Keempat, Jujur. Kepada para calon berlakulah jujur
dalam berkampanye. Jangan hanya melempar janji-janji kosong. Berbicaralah yang
realitas. Jangan menjanjikan roti kepada masyarakat tapi hanya dalam mimpi tapi
lebih baik berikan ubi tapi dalam kenyataan. Ini menunjukkan calon pejabat
bukan NATO (No Action Talk Only). Hal ini karena Tuhan sangat membenci orang
yang suka membuat janji tapi ia selalu mengingkarinya.
Kelima, menjadikan
ajang kampanye sebagai ajang untuk memerangi penyimpangan-penyimpangan dan
pelanggaran, seperti pemberantasan narkoba, illegal logging, korupsi, kolusi,
nepotisme dan lain-lain.
Adapun pengaturan agar
etika komunikasi politik berjalan baik secara regulasi sudah dibuatkan
norma-norma dan rambu-rambu yang tentu saja PANCASILA sebagai dasar utama yang
apabila semua pihak berpegang pada aturan tersebut maka seharusnya tidak ada
lagi istilah kampanye yang negatif atau kampanye hitam, aturan normatif lainnya
:
1.
Ada Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 khususnya pasal 280 yaitu:
a.
Larangan yang harus
diperhatikan oleh pelaksana, peserta, dan tim kampanye. Pelaksana, peserta, dan
tim kampanye dilarang mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
b.
Dilarang melakukan kegiatan
yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; menghina
seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan atau Peserta Pemilu yang
lain.
c.
Pelaksana, peserta, dan tim
kampanye dilarang menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat;
mengganggu ketertiban umum; mengancam untuk melakukan kekerasan atau
menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota
masyarakat, dan atau Peserta Pemilu yang lain.
d.
Dilarang merusak dan atau
menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu; menggunakan fasilitas
pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan; membawa atau menggunakan
tanda gambar dan atau atribut selain dari tanda gambar dan atau atribut Peserta
Pemilu yang bersangkutan; dan menjanjikan atau memberikan uang atau materi
lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu.
e.
dilarang memberikan uang
kepada peserta Kampanye Pemilu masuk dalam pelanggaran money politic. Ini
merupakan pelanggaran yang fatal dan mengancam pelaksanaan Pemilu yang jujur
dan bersih.
2.
Aturan Informasi dan
Transaksi Elektronik, yaitu Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 khusunya pasal 28
yang melarang :
a.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa
hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian
konsumen dalam Transaksi Elektronik.
b.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa
hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
Selain aturan legal tersebut diatas, karena etika
ini berkaitan dengan nilai-nilai serta kepercayaan, maka tentunya ada juga
faktor lain yang bisa bisa dijadikan landasan etika dalam berkomunikasi politik
pada Pemilu/Pemilukada, salah satunya adalah nilai-nilai agama, contohnya
nilai-nilai dalam Agama Islam. Menurut suatu studi di Timur Tengah (Sadig, 2016) bahwa terdapat dapat
nilai-nilai positif dalam ajaran universalitas ajaran Islam terhadap komunikasi
global seperti nilai-nilai Islam yang megajarkan kejujuran seperti, amanah
(kejujuran/kepercayaan), tauhid yang mengajarkan kebenaran dan amar ma’ruf nahi munkar yang menyuruh
terhadap kebenaran dan mencegah keburukan. Ini berarti secara umum apabila
diterapkan dimana saja termasuk Indonesia yang memiliki umat muslim yang
mayoritas, maka universalitas Islam dengan kitab Al-quran-nya harusnya menjadi
acuan etik yang kuat dalam proses demokrasi untuk memilih para pemimpin dan
wakil rakyat yang baik dan amanah.
BAB
IV
KESIMPULAN
Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah adalah
langkah demokratis dalam sistem politik di Indonesia yang diharapkan menjadi upaya
mewujudkan tujuan negara yaitu kesejahteraan umum. Oleh karena itu pelaksanaanya
harus mencerminkan kedaulatan rakyat yang bebas dan bertanggungjawab.
Namun dalam prakteknya kegiatan-kegiatan dalam
proses Pemilu/pemilukada masih diwarnai dengan hal-hal yang tidak baik. Salah
satu tahapan yang sering menjadi praktek tidak terpuji tersebut adalah
kampanye.
Kampanye merupakan bentuk komunikasi antara yang
akan dipilih dengan calon pemilih sering dijadikan sarana ekpresi para kandidat
dalam Pemilu/Pemilukada atau tim sukses dibelakangnya untuk menebar janji-janji
yang tidak dapat dilaksanakan atau kebohongan publik. Upaya menghalalkan segela
cara dengan tidak memperhatika
nilai-nilai kebaikan dalam hidup sering dilakukan supaya tujuan tercapai
seperti melakukan kampanye yang hitam
dan kampanye negatif dengan menyebarkan keburukan orang lain atau lawan
politik, menyebarkan fitnah dan informasi-informasi menyesatkan yang tidak
jelas kebenarannya.
Dengan kemajuan teknologi informasi komunikas di
satu sisi positif membuat komunikasi politik lebih mudah dengan media sosial
karena jangkauan yang luas di sisi lain negatif membuat siapapun dengan mudah
menyebarkan berita-berita bohong yang membuat persepsi masyarakat berbagai
golongan dan usia menjadi terdistorsi
yang kadang pilihan menjadi tidak rasional bahkan tidak sesuai dengan hati nuraninya.
Meskipun tidak sepenuhnya merugikan kandidat lain, namun tetap saja kegiatan
kampaye model ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan.
Padahal idealnya kampanye adalah bentuk komunikasi
politik yang berisi program-program yang bisa dilaksanakan atau realistis yang
berisi strategi dalam membangun kemajuan bangsa dan negara.
Maka
Terkait dengan
cita-cita membentuk bangsa dan negara Indonesia yang lahir dari proses politik
yang sehat, kejujuran dalam berpolitik mutlak menjadi landasan etisnya (Dwihantoro, 2013), maka termasuk didalamnya
etika dalam berkomunikasi politik yang harus mengutamakan nilai-nilai tersebut.
Efektifitas komunikasi memang sangat menentukan kesuksesan dalam
Pemilu/Pemilukada namun harus juga
disertai dengan kejujuran. Dengan landasan etis ini diharapkan dapat menjadikan
proses Pemilu/Pemilukada mencerminkan prinsipnya yaitu Jujur, Adil, Langsung
Umum bebas dan Rahasia sehingga dinilai berkualitas dan muaranya adalah
menghasilkan pemimipin yang berkualitas juga.
Faktor
legal formal untuk untuk mewujudkan etika dalam komunikasi politik sudah
dilakukan oleh pemerintah berupa aturan-aturan dan sanksinya berupa
undang-undang yang mengatur pemilu dan aturan informasi dan transkasi
elektronik yang melarang menyebarkan kebohongan dan kebencian yang menyangkut
SARA. Aparat penegak hukum pun sudah berupaya sudah melakukan upaya menecagah dan
memberantas kampanye hitam dengan melaksanakan aturan yang berlaku namun tetap
saja kejadian itu muncul disetiap proses Pemilu. Begitu pula menyangkut kepercayaan
akan agama yang mengajarkan nilai-nilai kebenaran hakiki dari sang pencipta
namun pada akhirnya etika komunikasi politik tergantung kepada individunya
apakah memegang teguh keyakinan itu di dalam hatinya atau sebaliknya.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku dan Jurnal
Budiman, A. (2014 ). Kampanye
Hitam Pemilu Presiden 2014. Info
Singkat Pemerintahan Dalam Negeri, Vol. VI No. 11. p.17-20
Dwihantoro, P. (2013). Etika dan Kejujuran dam
politik. Jurnal Politika, Vol.4 No. 2.
Falimu.
(2017). Etika Komunikasi Pegawai Terhadap Penerbitan Pajak Bumi dan Bangunan.
Komunikator, 9(1).
Gibson,
J., Ivancevich, J., Donelly Jr, J., & Konopaske, R. (2012). Organization:
Behavior, Structure and Processes, 14th edition. New York: MicGraw Hill-Irwin.
Griffin,
R., & Moorhead, G. (2014). Organizational Behavior: Managing People
and Organizations, 11th edition. USA: South-Western cengage Learning.
Hitt, M.,
Miller, C., & Colella, A. (2011). Organizational Behavior, third
edition. New Jersey: Wiley and Son. Inc.
Junaidi. (2013). Etika Berkampanye. Harian Jurnal
Asia. Retrieved from http://www.jurnalasia.com
Nasution, R. D. (2017). Pengaruh Perkembangan
Teknologi Informasi Komunikasi Terhadap Eksistensi Budaya Lokal. Jurnal
Penelitian Komunikasi dan Opini Publik, 21(1), 30-42.
Prayogo, B. E., & Winasis, A. P. (2018).
Penanggulangan Kampanye Hitam Sebagai Hambatan Demokrasi di Era Disrupsi
Teknologi Informasi dengan Sinergitas Bawaslu, Menkominfo, dan Tim Cyber
POLRI. Seminar Nasional Hukum UNS, (pp. 1129-1140). Semarang.
Robbins, S. P., & Coulter, M. (2016). Manajemen,
edisi ketigabelas . Jakarta: Erlangga.
Sadig, H. B. (2016). Islamic universals and
implications for global. The Journal of International Communication,
1-17.
Schermerhorn, J., Hunt, J., Osborn, R., &
Uhl-Bien, M. (2010). Organizational Behavior, 11th edition. New
Jersey: Wiley and Son.
Susanto, E. H. (2013). Dinamika Komunikasi Politik
dalam Pemilihan Umum (Vol. 1).
Tabroni, R. (2012). Etika Komunikasi Politik dalam
Ruang Media Massa. Jurnal Ilmu Komunikasi, 10(2), 105-116.
Tapscott, D. (2008). Grown Up Digital: How the Net
Generation Change Your World. New York: McGraw Hil.
Umam, K. (2018). Perilaku Organisasi. Bandung:
CV. Pustaka Setia.
Website
https://jurnal.kominfo.go.id/index.php/jpkop/article/view/981/600 diunduh tanggal 6 April 2019
Kesuma febry puja, 2014, Pengaruh
Kampanye Hitam terhadap Pemilih Pemula dalam
Partisipasi Pemilu, https://lib.
ui.ac.id diunduh tanggal 8 April 2018.
Aturan
perundang-undangan
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Komentar
Posting Komentar