Isu Gender dalam Pekerjaan di Perguruan Tinggi
Peran
dan posisi SDM Perempuan dan Lelaki di Dunia Kerja
Pendidikan
Tinggi
I.
Pendahuluan
Isu
pengarusutamaan gender mengemuka sekitar tahun 1990-an, sehingga diskusi-diskusi
mengenai peran laki-laki dan perempuan dibahas sangat mendalam baik di
perusahaan maupun instansi pemerintah, bahkan pemerintah telah membuat
kebijakan yang mengharuskan keterwakilan perempuan dalam parlemen sebesar 30%,
sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam memberi ruang kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan.
Namun terlepas dari berbagai kebijakan yang sudah ada, masih terdapat
pemahaman yang salah mengenai isu gender tersebut, kesalahan pemahaman
pertama, Gender sering diartikan dengan seks yang didefinisikan
sebagai jenis kelamin yaitu pengkategorian perempuan dan laki-laki. Namun sebenarnya pengertian antara gender dan seks
itu berbeda, kedua kesetaraan gender seolah-olah
dianggap sebagai tindakan atau keinginan menomorsatukan perempuan yang ada di
belahan dunia. (Fauziah, et al., 2015)
Pemahaman yang keliru tentang Gender menyebabkan program ini masih menghadapi kendala dan belum berjalan
dengan optimal, berikut beberapa data-data permasalahan dalam ketidaksetaraan
antara laki-laki dan perempuan di Indonesia:
1.
Bidang Pendidikan, data Pembangunan
Manusia Berbasis Gender 2017 menunjukkan, tahun 2016, rata-rata lama penduduk
perempuan sekolah hanya selama 7,5 tahun. Cukup berbeda jika dibandingkan
dengan laki-laki yang bersekolah selama 8,41 tahun.(www. Kemenpppa.go.id)
2.
Masalah utama yang dihadapi dalam bidang kesehatan adalah
tingginya angka kawin muda, serta angka kematian ibu melahirkan. Hampir 42 dari
100 perempuan menikah pertama pada usia 10-16 tahun dibanding dengan 29 dari
100 laki-laki. Kontribusi besar terhadap tingginya angka kematian ibu
melahirkan antara lain disebabkan oleh karena 54% ibu melahirkan dibantu oleh
dukun beranak dan 72% melahirkan di rumah. (Rahminawati, 2001)
3.
Dibidang ekonomi, rendahnya upah yang mereka terima pekerja
perempuan.
Sebanyak 16% perempuan bekerja menerima upah di bawah Rp 50.000,- perbulan,
sedangkan laki-laki hanya 2,5% (Rahminawati, 2001)
Artinya bahwa
dalam bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi serta bidang lainnya masih
terjadi ketimpangan, kaum perempuan mengalami nasib yang buruk dibanding dengan
kaum laki-laki.
Menyikapi
fenomena tersebut, Perguruan Tinggi diharapkan menjadi yang terdepan dalam
pembagian peran yang seimbang antara laki-laki dan perempuan, hal ini karena
pada lembaga ini sudah memiliki kesadaran, pola pikir dan rasionalitas yang tinggi akan hal tersebut
sehingga memiliki potensi yang besar untuk menyukseskannya. Tetapi kenyataannya
memang masih memiliki hambatan, menurut Mulia (2014) dalam tulisan di Jurnal
Perempuan menyebutkan bahwa belum semua perempuan memiliki peran yang strategis
dalam perguruan tinggi, faktanya tercatat hanya empat
perempuan rektor atau ketua, dari 97 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 3.124 Perguruan Tinggi
Swasta (PTS) dan hambatan itu bukan pada faktor kemampuan
akademis tetapi terbelenggu
nilai-nilai budaya patriarkal dan feodalistik.
Maka berdasarkan uraian diatas, tema permasalahan
yang ungkap dalam tulisan ini adalah bagaimana peran perempuan dan laki-laki
dalam dunia kerja di Perguruan Tinggi yang ditinjau dari sudut pandang
Manajemen Sumber Daya Manusia.
II. Tinjauan Pustaka
A.
Manajemen
Sumber Daya Manusia
Tugas
seorang manajer adalah mengelola berbagai sumber daya untuk mencapai tujuan
organisasi, salah satunya adalah Sumber Daya Manusia. Fungsi manajemen secara
umum adalah merencanakan (planning),
mengorganisasikan (organizing),
mengarahkan orang (Staffing),
memimpin (leading) dan mengawasi (controlling) dan fungsi Manajemen
Sumber Daya manusia terfokus pada Staffing.
Menurut (Dessler, 2017) Manajemen Sumber Daya Manusia (HRM)
adalah proses mendapatkan, melatih, menilai, dan memberikan kompensasi kepada
karyawan, dan menghadiri hubungan kerja mereka, kesehatan dan keselamatan, dan
keadilan. Adapun menurut (Bukit, et al., 2017) bahwa manajemen sumber
daya manusia (MSDM) merupakan suatu kegiatan atau sistem manajemen yang
mengadakan dan mengelola sumber daya manusia yang siap, bersedia, dan mampu
memberikan kontribusi yang baik agar dapat bekerjasama secara efektif
untuk mencapai tujuan baik secara individu ataupun organisasi
Artinya
bahwa setelah merencanakan dan membuat struktur organisasi, manajer harus
menemukan orang-orang demi mengisi pekerjaan yang telah dibuat, disinilah
Manajemen Sumber Daya manusia atau Human Resources Management (HRM) terlibat
untuk menghasilkan jumlah yang tepat, orang yang tepat dan ditempatkan pada
pekerjaan yang tepat pula termasuk bagaimana mempertahankan pegawai yang baik
dan berkaualitas tersebut agar tetap bertahan dalam organisasi.
Menurut (Robbins & Coulter, 2016) pentingnya Manajemen
Sumber Daya Manusia adalah pertama bahwa manajemen sumber daya manusia menjadi
sumber keunggulan kompetitif, yaitu MSDM yang berorientasi manusia memberikan
kemajuan bagi organisasi, kedua menjadi bagian penting dari strategi organisasi
yang mengisiyarakan bahwa dalam hubungan kerja seorang manajer harus
memperlakukan karyawan sebagai mitra bukan sebagai biaya.
Tujuannya
itu sendiri adalah pencapaian
produktifitas, dan menurut (Priyono & Marnis, 2008) MSDM berperan dalam
meningkatkan produktifitas organisasi. Secara Umum tujuan dari MSDM menurut (Armstrong, 2006) adalah sebagai berikut:
1. Menciptakan
Efektifitas Organisasi, artinya membuat organisasi lebih efektif
2. Manajemen
Modal Manusia, bertujuan dan memastikan organisasi untuk mempertahankan dan
orang-orang yang terampil dan berkomitmen dan termotivasi untuk keperluan masa
depan organisasi.
3. Manajemen
pengetahuan, yaitu bertujuan untuk mendukung pengembangan pengetahuan dan
keterampilan yang merupakan hasil dari proses pembelajaran organisasi.
4. Manajemen
penghargaan, bertujuan untuk meningkatkan motivasi, keterlibatan kerja dan
komitmen dengan memperkenalkan kebijakan dan proses yang memastikan bahwa orang
akan dihargai untuk apa yang mereka lakukan dan raih berdasarkan keterampilan dan kompetensinya
5. Hubungan
karyawan/pegawai, Tujuannya adalah untuk menciptakan iklim di mana hubungan
yang produktif dan harmonis dapat dipertahankan melalui kemitraan berbagai
pemangku kepentingan dalam organisasi
6. Memenuhi
beragam kebutuhan, bertujuan untuk mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang
menyeimbangkan dan beradaptasi dengan kebutuhan para pemangku kepentingannya
dan menyediakan manajemen tenaga kerja yang beragam, dengan mempertimbangkan
perbedaan individu dan kelompok dalam pekerjaan, kebutuhan pribadi, gaya kerja
dan aspirasi serta penyediaan peluang yang setara untuk semua.
7. Menjembatani
kesenjangan antara retorika dan kenyataan, tujuannya adalah agar segala
aspirasi dapat diakomodir dan dilaksanakan secara efektif.
B.
Mengelola Keragaman sebagai bagian
dari MSDM
Sebuah organisasi atau perusahaan tentu
diisi oleh orang-orang yang bekerja di dalamnya dengan beragam usia, gender,
ras, suku bangsa, disabilitas, agama dan orientasi seksual. Perbedaan-perbedaan
ini perlu dikelola dengan baik agar
dapat menjadi satu kesatuan dalam mencapai tujuan organisasi. Keragaman sangat
penting untuk dikelola menurut (Robbins & Coulter, 2016) ada tiga hal yaitu:
1.
Manajemen Orang, artinya penggunaan yang baik dari bakat karyawan,
meningkatkan kualitas dan menarik serta mempertahankan karyawan dari beragam
latar belakang
2.
Kinerja Organisasi, artinya dapat mengurangi biaya yang terkait dengan
perputaran karyawan, meningkatkan kemampuan penyelesaian masalah dan memperbaiki
flesibilitas sistem
3.
Strategis, yaitu kunci untuk penggalian bakat sehingga dengan keberagaman
organisasi dapat dengan cepat merespon perubahan dari luar.
Khusus perbedaan antara laki-laki dan
perempuan, saat ini mejadi isu yang sangat populer yaitu dengan sebutan gender,
dimana perdebatan peran perempuan dalam setiap pekerjaan dimana saat ini banyak
pekerjaan yang dahulu hanya didominasi oleh kaum laki-laki saat ini sudah
banyak yang dikerjakan oleh perempuan, sebagai contoh pilot, nakhoda kapal,
sopir alat berat. Ternyata dalam hal kepemimpinan perempuan dan laki-laki sama
efektifnya bahkan perempuan lebih banyak mempergunakan spketrum gaya
kepemimpinan dibanding laki-laki. Namun bias dari isu gender ini memang cukup
besar, padahal diskrimanasi terhadap peran perempuan sangat merugikan kinerja
organisasi (Robbins & Judge, 2017)
Konsep
gender sendiri menurut (Efendy, 2014) harus dibedakan antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin), perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan
perempuan adalah kodrat Tuhan karena secara permanen tidak berubah dan
merupakan ketentuan biologis. Sedangkan gender adalah perbedaaan tingkah laku
antara laki-laki dan perempuan yang secara sosial dibentuk. Perbedaan yang
bukan kodrat ini diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang.
Sehingga dalam bekerja atau berperan dalam pekerjaan perempuan sama saja
dengan laki-laki sebagai sumber daya manusia yang harus dikelola dengan baik
sesuai dengan sifat-sifat tersebut. Dalam mengelola keragaman (Robbins & Coulter, 2016) memberi petunjuk
beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu aspek legal berupa aturan hukum yang
melarang diskrimnasi, kemudian perlu adanya komitmen dari manajemen puncak,
kemudian mentoring atau bimbingan, pelatihan keberagaman serta mensuport
kelompok sumber daya karyawan yang beragam.
Dengan demikian pengarusutamaan gender bisa
dipandang sebagai upaya dalam mengelola keragaman dalam organisasi dengan memandang
bahwa derajat perempuan dan laki-laki sama dan siapa saja bisa mendapat peran
atau pekerjaan yang layak sesuai dengan kemampuan dan kecakapannya
masing-masing.
III.
Pembahasan
Membahas
peran perempuan dan laki-laki dalam dunia kerja khususnya di Perguruan Tinggi
dilihat dari Manajemen Sumber Daya Manusia sebagai berikut:
1.
Tujuan
Organisasi dari Perguruan Tinggi
Tujuan pendirian Perguruan Tinggi secara umum
mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi ada 4
hal yaitu :
a.
berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten,dan berbudaya untuk
kepentingan bangsa;
b.
dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu
Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional
dan peningkatan daya saing bangsa;
c.
Dihasilkannya Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian
yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat
bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia;
dan
d. Terwujudnya
Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang
bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Dari tujuan
tersebut setidaknya ada 2 hal yang sangat utama yang ingin dicapai yaitu pengembangan
kualitas manusia dan ilmu pengetahuan.
Hal- hal
yang dibutuhkan yaitu, Dosen yang profesional, Tenaga administrasi yang berkualitas,
Kepemimpinan yang baik, Prasarana yang mendukung, Sistem Informasi. Sehingga diperlukan
sumber daya manusia perguruan tinggi yang mumpuni untuk mencapai tujuan
tersebut.
Dengan
prinsip otonom dalam pengelolaannya menurut (Dhaniarti, et al., 2017) yaitu Otonomi pengelolaan bidang
akademik meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan
Tridharma Perguruan Tinggi. Sedangkan otonomi pengelolaan bidang non-akademik
meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan yang mencakup organisasi,
keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan dan sarana prasarana. Maka pihak
Perguruan Tinggi mendapat keleluasaan mengelola Sumber Daya Manusia atau melakukan proses
Staffing dengan sangat berwenang.
Penerapannya
menurut (Dessler, 2017) dengan tahapan berikut:
● Melakukan analisis pekerjaan (menentukan
sifat pekerjaan masing-masing karyawan).
● Merencanakan kebutuhan tenaga kerja dan
merekrut kandidat pekerjaan.
● Memilih kandidat pekerjaan.
● Mengorientasikan dan melatih karyawan baru.
● Mengelola upah dan gaji (kompensasi
karyawan).
● Memberikan insentif dan manfaat.
● Menilai kinerja.
● Berkomunikasi (wawancara, konseling,
pendisiplinan).
● Melatih karyawan, dan mengembangkan
manajer.
● Membangun hubungan dan keterlibatan
karyawan.
Tentunya dalam hal ini Perguruan Tinggi dapat
membedakan proses nya terhadap:
1. Dosen
yang profesional
2. Pegawai
Administrasi yang berkualitas
Sehingga mendapatkan tenaga dosen dan
administratur yang tepat kemudian mempertahankannya dengan baik untuk
produktifitas perguruan tinggi tersebut.
2.
Mensejajarkan
peran perempuan dan laki-laki dalam Perguruan Tinggi
Adapun mengelola keragaman atau isu
gender dalam perguruan tinggi memang seharusnya bukan suatu yang sulit karena
hasil-rekrutan adalah sumber daya yang sangat-sangat rasional dan berfikir
secara terbuka, sehingga siapapun pemimpinnya sudah mempunyai modal dasar untuk
mengelola perbedaan ini dengan bijaksana. Di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang awam tentang pola
relasi atau status sosial laki-laki dan perempuan, maka perguruan tinggi yang
merupakan lumbung ilmu pengetahuan dan pencetak kaum intelektual harus mampu
menjadi aktor utama dalam memberikan sekaligus merubah pola pikir masyarakat
yang masih awam dengan isu kesetaraan gender tersebut.
Mengacu kepada (Robbins & Coulter, 2016) langkah-langkah
untuk memberi ruang peran yang setara dalam berbagai perbedaan termasuk
perempaun dan laki-laki, hal-hal yang
perlu dilakukan yaitu :
1)
Aspek legal berupa aturan hukum yang melarang diskrimnasi berupa aturan
atau undang-undang
2)
Kemudian perlu adanya komitmen dari manajemen puncak, baik pemerintah atau
ketua yayasan Perguruan Tinggi bernaung.
3)
Kemudian mentoring atau bimbingan termasuk mentoring kepemimpinan,
melakukan pengawasan melekat dan pendampingan.
4)
Pelatihan keberagaman, bisa denga seminar atau lokakarya
5)
Memberi perhatian terhadap kelompok sumber daya karyawan yang beragam,
memfasilitasi dan komunikasi dengan organisasi-organiasi berbasis gender atau
profesi lainnya.
Sejalan dengan hal tersebut studi yang
dilakukan di sebuah perguruan tinggi oleh Mulyono (2012) menemukan pemikiran
bahwa Gender di
masa yang akan datang dapat tumbuh subur apabila dilakukan kebijakan-kebijakan,
antara lain: (1) Ditumbuhkembangkan positive policy pada the ruler
point terhadap gender mainstreaming sehingga wacana tentang gender
tidak sekedar berada pada kalangan segelintir academical grass roots,
tetapi justru menjadi kebijakan lembaga pendidikan secara otoritatif yang
didukung sekaligus ditumbuhkembangkan oleh semua pihak sivitas akademika. (2)
Dengan menjalin kerjasama, baik secara insidental, lebih-lebih – terutama-
kerja sama secara permanent partnership antar lembaga untuk menjadikan gender
mainstreaming guna mewujudkan pemahaman lebih survible dan lebih
baik tentang gender dengan segala dinamikanya. (3) Berusaha mensponsori dalam
arti mendukung sepenuhnya studi para tenaga edukatifnya terhadap dinamika
gender, baik studi dalam bentuk penelitian maupun studi lebih lanjut secara
akademis. (4) Pada saat yang sama, lembaga perguruan tinggi dalam hal ini PTAI
perlu memberikan dukungan penuh terhadap badan otonom yang mengurusi persoalan
gender yakni Pusat Studi Wanita (PSW) dengan kegiatannya melalui
pemberian dukungan financial yang memadai, sebab PSW inilah yang merupakan
think tank dari sosialisasi dan gender mainstreaming di suatu perguruan tinggi.
(5) Diusahakan untuk dibentuk matakuliah baru yang gender focused tersendiri
sebagai matakuliah otonom baik dalam lingkup ilmu-ilmu social dan ilmu-ilmu
keagamaan yang diberikan sebagai matakuliah umum/pilihan dan lintas program
studi, sehingga akhirnya pendekatan yang dipilih tidak lagi additive approach,
tetapi contributional approach yang akhirnya dapat mengantarkan pada transformation
approach bahkan social action approach.
Pada sisi lain mengenai kepemimpinan di
Perguruan Tinggi dianggap belum banyak namun setidaknya sudah ada yang mewakili
meskipun belum banyak, sehingga perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun
kualitasnya, mengani hal ini Mulia (2014) berpendapat bahwa perlunya kepemimpinan perempuan dengan melihat hasil
penelitian-penelitian bahwa ciri-ciri kepemimpinan perempuan memiliki
sejumlah keunikan dan berbeda dari kepemimpinan laki-laki. Misalnya, dalam
pengambilan keputusan, perempuan cenderung menggunakan gaya demokratis dan
partisipatif daripada laki-laki. Perempuan dinilai lebih interpersonal, bisa
mendengarkan lebih baik sebagai keterampilan yang dapat membuat orang lain
merasa nyaman dan penting. Selain itu, hal terpenting adalah perempuan memiliki
pandangan lebih kuat pada nilai-nilai kesetaraan. Perempuan juga dapat menjadi
lebih kooperatif dan mendukung, tidak suka menonjolkan diri dan kompetitif.
Tidak suka berkonflik, relatif sabar, lebih telaten, teliti, lebih memerhatikan
hal-hal kecil dan rumit serta kolegial.
Ciri-ciri
kepemimpinan demikian justru lebih relevan bagi dunia pendidikan yang
diharapkan mampu melahirkan manusia kritis, inovatif dan bertanggung jawab
serta tetap kuat berpegang pada nilai-nilai spiritual. Manusia yang mampu
memandang semua manusia sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat dan harus
dihormati.
Dengan demikian bahwa ada sifat-sifat yang sangat baik pada perempuan untuk
dijadikan sebagai penguat dalam gaya kepemimpinan sehingga mampu setara dengan
kepemimpinan laki-laki pada umumnya.
IV.
Kesimpulan
Manajemen
Sumber Daya Manusia di perguruan Tinggi serta dengan didong oleh peluang
otonomi kampus, tentunya diarahkan untuk meningkatkan produktifitas dengan
tujuan adalah menghasilkan Ilmu pengetahuan dan mencetak manusia berkualitas.
Proses staffing menjadi sangat luas bagi pengelola kampus untuk memilih
strategi dalam pengelolaan sumber daya manusia agar dapat menjalankan roda
perguruan tinggi dengan kinerja yang baik dan dengan tepat mencapai tujuan yang
sudah ditetapkan.
Mengenai
kesetaraan peran perempuan dan laki-laki dalam dunia kerja di Perguruan Tinggi
seharusnya tidak menjadi perdebatan krusial atau tidak harus menjadi hambatan
yang berarti dalam Manajemen Sumber Daya Manusia-nya, karena sebetulnya dunia perguruan tinggi mudah
memahami konsep gender dalam arti yang sebenarnya karena dikaji oleh
orang-orang yang memiliki intelektual tinggi.
Diharapkan
bahwa Perguruan Tinggi dapat menjadi pelopor kemajuan pengelolaan perbedaan khususnya
gender. Melalui tahapan kebijakan dan komunikasi yang efektif diharapkan isu
gender menjadi bagian dari upaya peningkatan kinerja perguruan tinggi.
Keselarasan peran dan fungsi antara tenaga dosen/administrasi dengan perannya
masing-masing mampu mewarnai dan menjadi pendorong organisasi untuk bekerja
secara simultan, berkelanjutan dan mampu menjadikan perguruan tinggi yang
memiliki keunggulan kompetitif hal ini sejalan dengan tujuan mengelola
keragaman di tempat kerja salahsatunya adalah strategis, yaitu kunci untuk penggalian bakat
sehingga dengan keberagaman organisasi dapat dengan cepat merespon perubahan
dari luar (Robbins & Coulter, 2016).
Keharmonisan
ini juga diharapkan berlaku dalam suksesi kepemimpinan, manajemen perguruan
tinggi memberikan kesempatan yang seimbang untuk memilih siapa pun baik
laki-laki dan perempuan untuk menduduki jabatan tertinggi (rektor/ketua, dll)
dengan sistem persaingan yang sehat berdasarkan kemampuan akademis dan yang
paling penting menghilangkan hambatan berupa pola pikir kultural dalam terhadap kesetaraan kaum
laki-laki dan perempuan, artinya berfikir secara terbuka, intelek dan hati yang
bersih, sehingga dapat menghasilkan pemimpin yang amanah yang mampu memberikan
kemampuan terbaiknya bagi kemajuan perguruan tinggi. kepemimpinan yang mencerminkan sebuah proses
untuk membimbing, menyusun, dan memfasilitasi kegiatan dan hubungan dalam grup
atau organisasi (Yukl, 2013)
tanpa memandang apakah mereka perempuan ataupun laki-laki.
Referensi
Buku dan Jurnal
Armstrong, M., 2006. A Handbook
of Human Resources management Practice, 10th edition. London and
Philadelphia: Kogan Page.
Bukit, B.,
Malusa, T. & Rahmat, A., 2017. Pengembangan Sumber Daya Manusia:
Teori, Dimensi Pengukuran dan Implementasi dalam Organisasi. Sleman:
Zahir Publishing.
Dessler,
G., 2017. Human Resources Management, 15th edition. USA: Pearson
Education.
Dhaniarti,
I., Wulandari, A. & Setiawan, I., 2017. Kajian Gender Leadership and
Equality pada Perguruan Tinggi di Indonesia. Jurnal Darussalam, Volume
VIII No. 2, pp. 236-247.
Efendy,
R., 2014. Kesetaraan Gender dalam Pendidikan. Al-Maiyyah, Volume 07
No.2, pp. 142-165.
Efendy,
R., t.thn. Kesetaraan Gender dalam Pendidikan.
Fauziah,
R., Muyana, N. & Raharjo, S. T., 2015. Pengetahuan Masyarakat Desa
tentang Kesetaraan Gender. Proseding KS, Vol. 2 No. 2, pp. 147-300.
Priyono
& Marnis, 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Sidoarjo: Zifatama.
Rahminawati,
N., 2001. Isu Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan (Bias Gender). Mimbar
jurnal Sosial dan Pembangunan, Juli-September, 17(3), pp. 272-283.
Robbins,
S. P. & Coulter, M., 2016. Manajemen, edisi ketigabelas. Jakarta:
Erlangga.
Robbins,
S. P. & Judge, T. A., 2017. Organizational Behavior. England:
Pearson.
Yukl, G.,
2013. Leadership in Organization, England: Pearson Education.
Website
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1720/pembangunan-gender-dan-hal-hal-yang-belum-selesai diunduh tanggal
3 April 2019
Mulia, Musdah
(2014) https://www.jurnalperempuan.org/blog/kepemimpinan-perempuan-di-kampus diunduh tanggal
3 April 2019
http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/egalita/article/download/1921/pdf diunduh tanggal
4 April 2019
Komentar
Posting Komentar