Isu Gender dalam Pekerjaan di Perguruan Tinggi


 


Peran dan posisi SDM Perempuan dan Lelaki di Dunia Kerja
Pendidikan Tinggi


I.    Pendahuluan
Isu pengarusutamaan gender mengemuka sekitar tahun 1990-an, sehingga diskusi-diskusi mengenai peran laki-laki dan perempuan dibahas sangat mendalam baik di perusahaan maupun instansi pemerintah, bahkan pemerintah telah membuat kebijakan yang mengharuskan keterwakilan perempuan dalam parlemen sebesar 30%, sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam memberi ruang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Namun terlepas dari berbagai kebijakan yang sudah ada, masih terdapat pemahaman yang salah mengenai isu gender tersebut, kesalahan pemahaman pertama,  Gender sering diartikan dengan seks yang didefinisikan sebagai jenis kelamin yaitu pengkategorian perempuan dan laki-laki. Namun  sebenarnya pengertian antara gender dan seks itu berbeda, kedua kesetaraan gender seolah-olah dianggap sebagai tindakan atau keinginan menomorsatukan perempuan yang ada di belahan dunia. (Fauziah, et al., 2015)
Pemahaman yang keliru tentang Gender menyebabkan program ini  masih menghadapi kendala dan belum berjalan dengan optimal, berikut beberapa data-data permasalahan dalam ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia:
1.      Bidang Pendidikan, data Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2017 menunjukkan, tahun 2016, rata-rata lama penduduk perempuan sekolah hanya selama 7,5 tahun. Cukup berbeda jika dibandingkan dengan laki-laki yang bersekolah selama 8,41 tahun.(www.  Kemenpppa.go.id)
2.      Masalah utama yang dihadapi dalam bidang kesehatan adalah tingginya angka kawin muda, serta angka kematian ibu melahirkan. Hampir 42 dari 100 perempuan menikah pertama pada usia 10-16 tahun dibanding dengan 29 dari 100 laki-laki. Kontribusi besar terhadap tingginya angka kematian ibu melahirkan antara lain disebabkan oleh karena 54% ibu melahirkan dibantu oleh dukun beranak dan 72% melahirkan di rumah. (Rahminawati, 2001)
3.      Dibidang ekonomi, rendahnya upah yang mereka terima pekerja perempuan. Sebanyak 16% perempuan bekerja menerima upah di bawah Rp 50.000,- perbulan, sedangkan laki-laki hanya 2,5% (Rahminawati, 2001)
Artinya bahwa dalam bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi serta bidang lainnya masih terjadi ketimpangan, kaum perempuan mengalami nasib yang buruk dibanding dengan kaum laki-laki.
Menyikapi fenomena tersebut, Perguruan Tinggi diharapkan menjadi yang terdepan dalam pembagian peran yang seimbang antara laki-laki dan perempuan, hal ini karena pada lembaga ini sudah memiliki kesadaran, pola pikir dan  rasionalitas yang tinggi akan hal tersebut sehingga memiliki potensi yang besar untuk menyukseskannya. Tetapi kenyataannya memang masih memiliki hambatan, menurut Mulia (2014) dalam tulisan di Jurnal Perempuan menyebutkan bahwa belum semua perempuan memiliki peran yang strategis dalam perguruan tinggi, faktanya tercatat hanya empat perempuan rektor atau ketua, dari 97 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan  3.124 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan hambatan itu bukan pada faktor kemampuan akademis tetapi  terbelenggu nilai-nilai budaya patriarkal dan feodalistik.
Maka berdasarkan uraian diatas, tema permasalahan yang ungkap dalam tulisan ini adalah bagaimana peran perempuan dan laki-laki dalam dunia kerja di Perguruan Tinggi yang ditinjau dari sudut pandang Manajemen Sumber Daya Manusia.
II. Tinjauan Pustaka
A.   Manajemen Sumber Daya Manusia
Tugas seorang manajer adalah mengelola berbagai sumber daya untuk mencapai tujuan organisasi, salah satunya adalah Sumber Daya Manusia. Fungsi manajemen secara umum adalah merencanakan (planning), mengorganisasikan (organizing), mengarahkan orang (Staffing), memimpin (leading) dan mengawasi (controlling) dan fungsi Manajemen Sumber Daya manusia terfokus pada Staffing. Menurut (Dessler, 2017) Manajemen Sumber Daya Manusia (HRM) adalah proses mendapatkan, melatih, menilai, dan memberikan kompensasi kepada karyawan, dan menghadiri hubungan kerja mereka, kesehatan dan keselamatan, dan keadilan. Adapun menurut (Bukit, et al., 2017) bahwa manajemen sumber daya manusia (MSDM) merupakan suatu kegiatan atau sistem manajemen yang mengadakan dan mengelola sumber daya manusia yang siap, bersedia, dan mampu memberikan kontribusi yang baik agar dapat bekerjasama secara efektif untuk mencapai tujuan baik secara individu ataupun organisasi
Artinya bahwa setelah merencanakan dan membuat struktur organisasi, manajer harus menemukan orang-orang demi mengisi pekerjaan yang telah dibuat, disinilah Manajemen Sumber Daya manusia atau Human Resources Management (HRM) terlibat untuk menghasilkan jumlah yang tepat, orang yang tepat dan ditempatkan pada pekerjaan yang tepat pula termasuk bagaimana mempertahankan pegawai yang baik dan berkaualitas tersebut agar tetap bertahan dalam organisasi.
Menurut  (Robbins & Coulter, 2016) pentingnya Manajemen Sumber Daya Manusia adalah pertama bahwa manajemen sumber daya manusia menjadi sumber keunggulan kompetitif, yaitu MSDM yang berorientasi manusia memberikan kemajuan bagi organisasi, kedua menjadi bagian penting dari strategi organisasi yang mengisiyarakan bahwa dalam hubungan kerja seorang manajer harus memperlakukan karyawan sebagai mitra bukan sebagai biaya.
Tujuannya itu sendiri adalah  pencapaian produktifitas, dan menurut (Priyono & Marnis, 2008) MSDM berperan dalam meningkatkan produktifitas organisasi. Secara Umum tujuan dari MSDM menurut (Armstrong, 2006) adalah sebagai berikut:
1.    Menciptakan Efektifitas Organisasi, artinya membuat organisasi lebih efektif
2.    Manajemen Modal Manusia, bertujuan dan memastikan organisasi untuk mempertahankan dan orang-orang yang terampil dan berkomitmen dan termotivasi untuk keperluan masa depan organisasi.
3.    Manajemen pengetahuan, yaitu bertujuan untuk mendukung pengembangan pengetahuan dan keterampilan yang merupakan hasil dari proses pembelajaran organisasi.
4.    Manajemen penghargaan, bertujuan untuk meningkatkan motivasi, keterlibatan kerja dan komitmen dengan memperkenalkan kebijakan dan proses yang memastikan bahwa orang akan dihargai untuk apa yang mereka lakukan dan raih berdasarkan  keterampilan dan kompetensinya
5.    Hubungan karyawan/pegawai, Tujuannya adalah untuk menciptakan iklim di mana hubungan yang produktif dan harmonis dapat dipertahankan melalui kemitraan berbagai pemangku kepentingan dalam organisasi
6.    Memenuhi beragam kebutuhan, bertujuan untuk mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang menyeimbangkan dan beradaptasi dengan kebutuhan para pemangku kepentingannya dan menyediakan manajemen tenaga kerja yang beragam, dengan mempertimbangkan perbedaan individu dan kelompok dalam pekerjaan, kebutuhan pribadi, gaya kerja dan aspirasi serta penyediaan peluang yang setara untuk semua.
7.    Menjembatani kesenjangan antara retorika dan kenyataan, tujuannya adalah agar segala aspirasi dapat diakomodir dan dilaksanakan secara efektif.

B.   Mengelola Keragaman sebagai bagian dari MSDM
Sebuah organisasi atau perusahaan tentu diisi oleh orang-orang yang bekerja di dalamnya dengan beragam usia, gender, ras, suku bangsa, disabilitas, agama dan orientasi seksual. Perbedaan-perbedaan ini  perlu dikelola dengan baik agar dapat menjadi satu kesatuan dalam mencapai tujuan organisasi. Keragaman sangat penting untuk dikelola menurut (Robbins & Coulter, 2016) ada tiga hal yaitu:
1.    Manajemen Orang, artinya penggunaan yang baik dari bakat karyawan, meningkatkan kualitas dan menarik serta mempertahankan karyawan dari beragam latar belakang
2.    Kinerja Organisasi, artinya dapat mengurangi biaya yang terkait dengan perputaran karyawan, meningkatkan kemampuan penyelesaian masalah dan memperbaiki flesibilitas sistem
3.    Strategis, yaitu kunci untuk penggalian bakat sehingga dengan keberagaman organisasi dapat dengan cepat merespon perubahan dari luar.
Khusus perbedaan antara laki-laki dan perempuan, saat ini mejadi isu yang sangat populer yaitu dengan sebutan gender, dimana perdebatan peran perempuan dalam setiap pekerjaan dimana saat ini banyak pekerjaan yang dahulu hanya didominasi oleh kaum laki-laki saat ini sudah banyak yang dikerjakan oleh perempuan, sebagai contoh pilot, nakhoda kapal, sopir alat berat. Ternyata dalam hal kepemimpinan perempuan dan laki-laki sama efektifnya bahkan perempuan lebih banyak mempergunakan spketrum gaya kepemimpinan dibanding laki-laki. Namun bias dari isu gender ini memang cukup besar, padahal diskrimanasi terhadap peran perempuan sangat merugikan kinerja organisasi (Robbins & Judge, 2017)
Konsep gender sendiri menurut (Efendy, 2014) harus dibedakan antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin), perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan adalah kodrat Tuhan karena secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis. Sedangkan gender adalah perbedaaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara sosial dibentuk. Perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang.
Sehingga dalam bekerja atau berperan dalam pekerjaan perempuan sama saja dengan laki-laki sebagai sumber daya manusia yang harus dikelola dengan baik sesuai dengan sifat-sifat tersebut. Dalam mengelola keragaman (Robbins & Coulter, 2016) memberi petunjuk beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu aspek legal berupa aturan hukum yang melarang diskrimnasi, kemudian perlu adanya komitmen dari manajemen puncak, kemudian mentoring atau bimbingan, pelatihan keberagaman serta mensuport kelompok sumber daya karyawan yang beragam.
Dengan demikian pengarusutamaan gender bisa dipandang sebagai upaya dalam mengelola keragaman dalam organisasi dengan memandang bahwa derajat perempuan dan laki-laki sama dan siapa saja bisa mendapat peran atau pekerjaan yang layak sesuai dengan kemampuan dan kecakapannya masing-masing.
III.   Pembahasan
Membahas peran perempuan dan laki-laki dalam dunia kerja khususnya di Perguruan Tinggi dilihat dari Manajemen Sumber Daya Manusia sebagai berikut:
1.      Tujuan Organisasi dari Perguruan Tinggi
Tujuan pendirian Perguruan Tinggi secara umum mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi ada 4 hal yaitu :
a.       berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten,dan berbudaya untuk kepentingan bangsa;
b.      dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa;
c.       Dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan
d.      Terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dari tujuan tersebut setidaknya ada 2 hal yang sangat utama yang ingin dicapai yaitu pengembangan kualitas manusia dan ilmu pengetahuan.
Hal- hal yang dibutuhkan yaitu, Dosen yang profesional, Tenaga administrasi yang berkualitas, Kepemimpinan yang baik, Prasarana yang mendukung, Sistem Informasi. Sehingga diperlukan sumber daya manusia perguruan tinggi yang mumpuni untuk mencapai tujuan tersebut.
Dengan prinsip otonom dalam pengelolaannya menurut (Dhaniarti, et al., 2017) yaitu Otonomi pengelolaan bidang akademik meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. Sedangkan otonomi pengelolaan bidang non-akademik meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan yang mencakup organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan dan sarana prasarana. Maka pihak Perguruan Tinggi mendapat keleluasaan mengelola  Sumber Daya Manusia atau melakukan proses Staffing dengan sangat berwenang.
Penerapannya menurut (Dessler, 2017) dengan tahapan berikut:
● Melakukan analisis pekerjaan (menentukan sifat pekerjaan masing-masing karyawan).
● Merencanakan kebutuhan tenaga kerja dan merekrut kandidat pekerjaan.
● Memilih kandidat pekerjaan.
● Mengorientasikan dan melatih karyawan baru.
● Mengelola upah dan gaji (kompensasi karyawan).
● Memberikan insentif dan manfaat.
● Menilai kinerja.
● Berkomunikasi (wawancara, konseling, pendisiplinan).
● Melatih karyawan, dan mengembangkan manajer.
● Membangun hubungan dan keterlibatan karyawan.
Tentunya dalam hal ini Perguruan Tinggi dapat membedakan proses nya terhadap:
1.      Dosen yang profesional
2.      Pegawai Administrasi yang berkualitas
Sehingga mendapatkan tenaga dosen dan administratur yang tepat kemudian mempertahankannya dengan baik untuk produktifitas perguruan tinggi tersebut.
2.      Mensejajarkan peran perempuan dan laki-laki dalam Perguruan Tinggi
Adapun mengelola keragaman atau isu gender dalam perguruan tinggi memang seharusnya bukan suatu yang sulit karena hasil-rekrutan adalah sumber daya yang sangat-sangat rasional dan berfikir secara terbuka, sehingga siapapun pemimpinnya sudah mempunyai modal dasar untuk mengelola perbedaan ini dengan bijaksana.  Di  tengah-tengah kehidupan masyarakat yang awam tentang pola relasi atau status sosial laki-laki dan perempuan, maka perguruan tinggi yang merupakan lumbung ilmu pengetahuan dan pencetak kaum intelektual harus mampu menjadi aktor utama dalam memberikan sekaligus merubah pola pikir masyarakat yang masih awam dengan isu kesetaraan gender tersebut.
Mengacu kepada (Robbins & Coulter, 2016) langkah-langkah untuk memberi ruang peran yang setara dalam berbagai perbedaan termasuk perempaun dan laki-laki, hal-hal  yang perlu dilakukan yaitu :
1)        Aspek legal berupa aturan hukum yang melarang diskrimnasi berupa aturan atau undang-undang
2)        Kemudian perlu adanya komitmen dari manajemen puncak, baik pemerintah atau ketua yayasan Perguruan Tinggi  bernaung.
3)        Kemudian mentoring atau bimbingan termasuk mentoring kepemimpinan, melakukan pengawasan melekat dan pendampingan.
4)        Pelatihan keberagaman, bisa denga seminar atau lokakarya
5)        Memberi perhatian terhadap kelompok sumber daya karyawan yang beragam, memfasilitasi dan komunikasi dengan organisasi-organiasi berbasis gender atau profesi lainnya.
Sejalan dengan hal tersebut studi yang dilakukan di sebuah perguruan tinggi oleh Mulyono (2012) menemukan pemikiran bahwa Gender di masa yang akan datang dapat tumbuh subur apabila dilakukan kebijakan-kebijakan, antara lain: (1) Ditumbuhkembangkan positive policy pada the ruler point terhadap gender mainstreaming sehingga wacana tentang gender tidak sekedar berada pada kalangan segelintir academical grass roots, tetapi justru menjadi kebijakan lembaga pendidikan secara otoritatif yang didukung sekaligus ditumbuhkembangkan oleh semua pihak sivitas akademika. (2) Dengan menjalin kerjasama, baik secara insidental, lebih-lebih – terutama- kerja sama secara permanent partnership antar lembaga untuk menjadikan gender mainstreaming guna mewujudkan pemahaman lebih survible dan lebih baik tentang gender dengan segala dinamikanya. (3) Berusaha mensponsori dalam arti mendukung sepenuhnya studi para tenaga edukatifnya terhadap dinamika gender, baik studi dalam bentuk penelitian maupun studi lebih lanjut secara akademis. (4) Pada saat yang sama, lembaga perguruan tinggi dalam hal ini PTAI perlu memberikan dukungan penuh terhadap badan otonom yang mengurusi persoalan gender yakni Pusat Studi Wanita (PSW) dengan kegiatannya melalui pemberian dukungan financial yang memadai, sebab PSW inilah yang merupakan think tank dari sosialisasi dan gender mainstreaming di suatu perguruan tinggi. (5) Diusahakan untuk dibentuk matakuliah baru yang gender focused tersendiri sebagai matakuliah otonom baik dalam lingkup ilmu-ilmu social dan ilmu-ilmu keagamaan yang diberikan sebagai matakuliah umum/pilihan dan lintas program studi, sehingga akhirnya pendekatan yang dipilih tidak lagi additive approach, tetapi contributional approach yang akhirnya dapat mengantarkan pada transformation approach bahkan social action approach.
Pada sisi lain mengenai kepemimpinan di Perguruan Tinggi dianggap belum banyak namun setidaknya sudah ada yang mewakili meskipun belum banyak, sehingga perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya, mengani hal ini Mulia (2014) berpendapat bahwa perlunya kepemimpinan perempuan dengan melihat hasil penelitian-penelitian bahwa  ciri-ciri kepemimpinan perempuan memiliki sejumlah keunikan dan berbeda dari kepemimpinan laki-laki. Misalnya, dalam pengambilan keputusan, perempuan cenderung menggunakan gaya demokratis dan partisipatif daripada laki-laki. Perempuan dinilai lebih interpersonal, bisa mendengarkan lebih baik sebagai keterampilan yang dapat membuat orang lain merasa nyaman dan penting. Selain itu, hal terpenting adalah perempuan memiliki pandangan lebih kuat pada nilai-nilai kesetaraan. Perempuan juga dapat menjadi lebih kooperatif dan mendukung, tidak suka menonjolkan diri dan kompetitif. Tidak suka berkonflik, relatif sabar, lebih telaten, teliti, lebih memerhatikan hal-hal kecil dan rumit serta kolegial.
Ciri-ciri kepemimpinan demikian justru lebih relevan bagi dunia pendidikan yang diharapkan mampu melahirkan manusia kritis, inovatif dan bertanggung jawab serta tetap kuat berpegang pada nilai-nilai spiritual. Manusia yang mampu memandang semua manusia sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat dan harus dihormati.
Dengan demikian bahwa ada sifat-sifat yang sangat baik pada perempuan untuk dijadikan sebagai penguat dalam gaya kepemimpinan sehingga mampu setara dengan kepemimpinan laki-laki pada umumnya.
IV.    Kesimpulan
Manajemen Sumber Daya Manusia di perguruan Tinggi serta dengan didong oleh peluang otonomi kampus, tentunya diarahkan untuk meningkatkan produktifitas dengan tujuan adalah menghasilkan Ilmu pengetahuan dan mencetak manusia berkualitas. Proses staffing menjadi sangat luas bagi pengelola kampus untuk memilih strategi dalam pengelolaan sumber daya manusia agar dapat menjalankan roda perguruan tinggi dengan kinerja yang baik dan dengan tepat mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.
Mengenai kesetaraan peran perempuan dan laki-laki dalam dunia kerja di Perguruan Tinggi seharusnya tidak menjadi perdebatan krusial atau tidak harus menjadi hambatan yang berarti dalam Manajemen Sumber Daya Manusia-nya,  karena sebetulnya dunia perguruan tinggi mudah memahami konsep gender dalam arti yang sebenarnya karena dikaji oleh orang-orang yang memiliki intelektual tinggi.
Diharapkan bahwa Perguruan Tinggi dapat menjadi pelopor kemajuan pengelolaan perbedaan khususnya gender. Melalui tahapan kebijakan dan komunikasi yang efektif diharapkan isu gender menjadi bagian dari upaya peningkatan kinerja perguruan tinggi. Keselarasan peran dan fungsi antara tenaga dosen/administrasi dengan perannya masing-masing mampu mewarnai dan menjadi pendorong organisasi untuk bekerja secara simultan, berkelanjutan dan mampu menjadikan perguruan tinggi yang memiliki keunggulan kompetitif hal ini sejalan dengan tujuan mengelola keragaman di tempat kerja salahsatunya adalah strategis, yaitu kunci untuk penggalian bakat sehingga dengan keberagaman organisasi dapat dengan cepat merespon perubahan dari luar (Robbins & Coulter, 2016).
Keharmonisan ini juga diharapkan berlaku dalam suksesi kepemimpinan, manajemen perguruan tinggi memberikan kesempatan yang seimbang untuk memilih siapa pun baik laki-laki dan perempuan untuk menduduki jabatan tertinggi (rektor/ketua, dll) dengan sistem persaingan yang sehat berdasarkan kemampuan akademis dan yang paling penting menghilangkan hambatan berupa pola pikir  kultural dalam terhadap kesetaraan kaum laki-laki dan perempuan, artinya berfikir secara terbuka, intelek dan hati yang bersih, sehingga dapat menghasilkan pemimpin yang amanah yang mampu memberikan kemampuan terbaiknya bagi kemajuan perguruan tinggi.  kepemimpinan yang mencerminkan sebuah proses untuk membimbing, menyusun, dan memfasilitasi kegiatan dan hubungan dalam grup atau organisasi (Yukl, 2013) tanpa memandang apakah mereka perempuan ataupun laki-laki.









Referensi
Buku dan Jurnal

 

Armstrong, M., 2006. A Handbook of Human Resources management Practice, 10th edition. London and Philadelphia: Kogan Page.
Bukit, B., Malusa, T. & Rahmat, A., 2017. Pengembangan Sumber Daya Manusia: Teori, Dimensi Pengukuran dan Implementasi dalam Organisasi. Sleman: Zahir Publishing.
Dessler, G., 2017. Human Resources Management, 15th edition. USA: Pearson Education.
Dhaniarti, I., Wulandari, A. & Setiawan, I., 2017. Kajian Gender Leadership and Equality pada Perguruan Tinggi di Indonesia. Jurnal Darussalam, Volume VIII No. 2, pp. 236-247.
Efendy, R., 2014. Kesetaraan Gender dalam Pendidikan. Al-Maiyyah, Volume 07 No.2, pp. 142-165.
Efendy, R., t.thn. Kesetaraan Gender dalam Pendidikan.
Fauziah, R., Muyana, N. & Raharjo, S. T., 2015. Pengetahuan Masyarakat Desa tentang Kesetaraan Gender. Proseding KS, Vol. 2 No. 2, pp. 147-300.
Priyono & Marnis, 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Sidoarjo: Zifatama.
Rahminawati, N., 2001. Isu Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan (Bias Gender). Mimbar jurnal Sosial dan Pembangunan, Juli-September, 17(3), pp. 272-283.
Robbins, S. P. & Coulter, M., 2016. Manajemen, edisi ketigabelas. Jakarta: Erlangga.
Robbins, S. P. & Judge, T. A., 2017. Organizational Behavior. England: Pearson.
Yukl, G., 2013. Leadership in Organization, England: Pearson Education.


Website
Mulia, Musdah (2014) https://www.jurnalperempuan.org/blog/kepemimpinan-perempuan-di-kampus diunduh tanggal 3 April 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Total Quality Management (TQM)

Laporan Aksi Perubahan PKA

UMKM DALAM MELEWATI KRISIS ( Kajian Literatur Ketahanan Usaha di Masa Pandemi Covid 19)